CAT-tegories:

Khamis, 18 Disember 2008

fatwa al-Qaradhawi tentang perwarisan harta dari non-muslim kepada muslim


Pertanyaan:



Saya adalah seorang laki-laki yang telah masuk Islam lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sedangkan keluarga saya adalah keluarga Kristian berbangsa Inggeris. Saya telah berusaha untuk berdakwah dan mengenalkan Islam kepada mereka. Namun, Allah belum membuka hati mereka untuk menerima agama Islam. Mereka pun masih tetap dalam keadaan Kristian. Ibu saya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Dengan demikian, saya memiliki sedikit harta warisan darinya. Namun, saya menolak untuk mengambil harta warisan tersebut. Hal itu karena seorang Muslim tidak boleh menerima harta warisan orang kafir. Demikian juga orang kafir tidak boleh menerima harta warisan seorang Muslim.


Sekarang, bapak saya yang meninggal dunia dan meninggal¬kan harta yang banyak. Sedangkan saya adalah ahli warisnya satu-¬satunya. Hukum yang berlaku menetapkan bahwa peninggalan harta waris ini menjadi hak saya seorang.


Apakah saya harus menolak peninggalan harta yang sangat banyak tersebut dan memberikannya kepada non-muslim untuk dimanfaatkan mereka? Padahal, secara hukum, harta tersebut adalah kepunyaan dan hak saya seorang. Saya pun sangat memerlukan harta tersebut. Karena, saya akan menggunakannya untuk keperluan saya dan keluarga saya yang muslim. Baik istri, ataupun anak-anak saya. Terlebih lagi, saya akan memberikannya kepada saudara-saudara saya yang muslim. Karena, mereka teramat memerlukan pertolongan. Kemudian, saya akan mengeluarkannya pada projek-projek Islam yang bermanfaat, luas, dan sedang memerlukan pelaburan.


Kemudian, majoriti umat Islam adalah orang-orang yang lemah ekonominya. Syaikh juga mengetahui, bahwa harta adalah urat kehidupan dan bisa mempengaruhi masalah politik. Dengan demikian, mengapa kita meninggalkan kesempatan yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh umat Islam dan bisa merealisasikan kekuatan ekonomi, padahal ia bukan melakukan hal haram atau syubhat?


Saya harap bisa mendapatkan solusi permasalahan ini dari Syaikh. Ini bukanlah permasalahan saya saja, tetapi permasalahan ribuan bahkan puluhan ribu orang seperti saya. Hati mereka telah dibuka untuk agama yang besar ini. Sehingga, mereka beriman untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi.


Jawapan:


Sheikh Yusuf al-Qaradhawi


Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam mudah¬-mudahan tetap tercurahkan kepada Rasululllah.



Jumhur ahli fikih berpendapat, bahwa seorang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, begitupun sebaliknya. Perbedaan agama menjadi sebab terhalangnya warisan. Para ahli fikih beralasan dengan hadits Al-Bukhari clan Muslim yang menyatakan, "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang muslim." [HR. Al-Bukhari, Kitab A!-Maghazi (6764), Muslim, Kitab Al-Fara'idh (1614) dari Usamah bin Zaid.] Serta, hadits lain yang menyatakan, "Pemeluk dua agama (berbeda), tidak boleh saling mewarisi." [HR. Ahmad (6664). Orang-orang yang menakhrij Musnad berkata, "Hasan lighairih." Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (2911), Ibnu Majah ((2731) dari Abdullah bin Amr. Hadits ini ada dalam "Shahih A/-Jami'Ash-Shaghir"(7614). At-Tirmidzi meriwayatkan dengan gharib dari Jabir (2109).]


Pendapat tersebut diriwayatkan dari Khulafaur-rasyidin. Imam empat madzhab dan seluruh ahli fikih pun berpendapat hal yang serupa. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah.


Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muadz, dan Mu'awiyah, bahwa seorang muslim boleh menerima waris dari orang kafir, dan tidak sebaliknya. Hal iu diceritakan oleh Muhammad bin Al¬-Hanafiyyah, Ali bin Al-Husain, Sa'id bin Al-Musayyab, Masruq, Abdullah bin Ma'qil, Asy-Sya'bi, Yahya bin Ya'mar, dan Ishaq. ["Al-Mughni," (9/154)]


Diriwayatkan juga dari Yahya bin Ya'mar, bahwa pernah dua orang saudara Yahudi dan muslim bersengketa kepadanya tentang warisan saudaranya mereka yang kafir. Lalu, muslim tersebut menerima warisan tersebut. Yahya berkata, "Abu Al¬-Aswad pernah bercerita kepadaku bahwa Muadz pernah bercerita, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda, "Islam itu bertambah, bukan berkurang." [HR. Ahmad (22005). Orang-orang yang menakhrij Musnad berkata, "Sanadnya dhaif karena terputus." Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (2912&2913), dan Al-Hakim (4/345), di dalamnya ada Abul Aswad dari Muadz, AI-Hakim menshahih¬kannya. Adz-Dzahabi menyepakatinya. Di dalam "Al-Fath," ditulis, "Antara Abul Aswad dan Muadz ada keterputusan yang berturut-turut, tetapi mungkin dia mendengarnya," "A/-Faidh" (3/179).] Ini berarti bahwa Islam harus menjadi sebab kebaikan bagi pemeluknya, bukan menjadi sebab bagi kekurangan.


Di sini, bisa juga disebutkan hadits, "Islam itu tinggi, dan tidak bisa rendah." [HR Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ar-Ruyani, dan Adh-Dhiya` dari Aidz bin Amr. Di dalam "Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir hadits ini dihasankan (2778)]



Selain itu, kita pun bisa menikahi wanita-wanita mereka dan mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita kita. Demikian pun dalam warisan. Kita bisa menerima warisan mereka, tetapi mereka tidak.


Meskipun tidak sama dengan jumhur, tetapi saya menguatkan pendapat ini. Saya berpendapat, bahwa Islam tidak menjadi batu penghalang bagi kebaikan dan kemaslahatan seorang muslim yang mengeesakan Allah, taat kepada-Nya, dan menolong agama-Nya dengan kebaikan.


Pada dasarnya, harta harus digunakan untuk taat kepada Allah, bukan maksiat kepada-Nya. Dan, orang yang lebih utama melakukan hal itu adalah umat Islam. Jika hukum positif membolehkan umat Islam untuk menerima harta peninggalan tersebut, kita tidak boleh menolaknya. Sehingga, kita membiarkan harta tersebut untuk orang kafir yang terkadang menggunakannya untuk sesuatu yang haram dan bisa mencelakakan kita.


Adapun hadits "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang muslim," bisa ditakwil dengan takwilan para ahli fikih madzhab Hanafi terhadap hadits "Seorang Muslim tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh orang kafir," yaitu, yang dimaksud "kafir" dalam hadits tersebut adalah kafir harbi. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh menerima warisan dari kafir harbi, yaitu orang yang memerangi umat Islam -karena hal itu memutuskan hubungan antara keduanya.




Pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim


Ibnul Qayyim pernah mendapatkan permasalahan ini - warisan muslim dari kafir - dalam karyanya "Ahkam Ahl Adz-Dzimmah." Dia menjelaskan permasalahan ini dan menguatkan pendapat ini. Dinukil juga dari Syaikhnya, Ibnu Taimiyah, bahwa dia pun berpendapat yang sama.


Dia menulis, "Adapun warisan seorang muslim dari orang kafir, orang-orang dahulu berbeda pendapat. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa seorang muslim tidak boleh menerima warisan orang kafir. Ini adalah pendapat imam empat dan para pengikutnya. Namun, di antara mereka ada yang berkata bahwa seorang muslim bisa menerima waris dari orang kafir, dan tidak sebaliknya. Pendapat ini adalah pendapat Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Al-Hanafiyah, Muhammad bin Ali bin Al-Husain (Abu Ja'far Al-Baqir), Said bin Al-Musayyab, Masruq bin Al-Ajda', Abdullah bin Mughafal, Yahya bin Ya'mar, dan Ishaq bin Rahawaih. Itulah pendapat Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.


Mereka berkata, kita bisa menerima waris dari mereka, tetapi mereka tidak bisa menerima waris dari kita. Sebagaimana kita bisa menikahi perempuan mereka tetapi mereka tidak bisa menikahi istri kita. Alasan yang melarang menerima warisan adalah hadits, "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang muslim," ia adalah dalil bagi tidak bolehnya menerima warisan orang munafik, zindik, dan murtad. Syaikh kita (yakni Ibnu Taimiyah) berkata, "Sesuai dengan sunnah mutawatir, Nabi memperlakukan orang-orang zindik munafik seperti perlakukan kepada umat Islam. Mereka menerima waris dan memberikan warisan. Ketika Abdullah bin Ubay dan orang-orang yang disebut kemunafikannya oleh Al-Qur'an, dan Nabi dilarang untuk shalat serta beristighfar untuk mereka tatkala mereka mati, orang-orang Islam menerima warisan dari mereka.


Sebagaimana anaknya Abdullah bin Ubay pun menerima warisan darinya. Namun, Nabi tidak mengambil sedikit pun harta peninggalan orang munafik dan tidak menjadikannya sebagai rampasan perang (fai), tetapi memberikannya kepada ahli warisnya. Ini adalah hal yang telah diketahui dengan yakin.


Sebagaimana telah diketahui, bahwa waris dibangun atas dasar semangat tolong-menolong yang nyata, bukan karena keimanan hati dan ikatan batin. Secara zhahir, orang-orang munafik adalah menolong umat Islam, meskipun pada hakekatnya mereka adalah musuh yang paling berbahaya. Tetapi, mereka tetap mendapatkan warisan. Dengan demikian, waris dibangun berdasarkan perkara zhahir, bukan hati.


Adapun orang murtad, sebagaimana pendapat para sahabat, seperti Ali dan Ibnu Mas'ud, hartanya adalah bagi ahli waris umat Islam juga. [ Bandingkan dengan "Masa'il Ahmad" nombor 220, Diceritakan dari Abu Dawud, dia berkata, "Saya mendengar Ahmad pernah ditanya tentang warisan orang murtad, dia menjawab, "Saya pernah berkata sekali, orang Islam tidak mewarisinya. “Kemudian berpalinglah darinya!"] Ia tidak masuk ke dalam sabda Nabi, "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir." Inilah yang benar.


Adapun ahli dzimmah, orang yang berpendapat dengan pendapat Muadz, Muawiyah, dan yang lainnya berpendapat, bahwa sabda Nabi "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir," adalah untuk kafir harbi (kafir yang memerangi umat Islam), bukan munafik, orang murtad, dan dzimmi. Lafazh kafir -meskipun kadang bermakna seluruh orang kafir- terkadang bermakna macam-macam kafir. Seperti firman Allah Ta'ala,


"Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Neraka Jahanam." (An-Nisaa': 140)


Dalam ayat tersebut, lafazh munafik tidak masuk ke dalam lafazh orang kafir. Demikian juga dengan orang murtad, para ahli fikih tidak memasukkannya ke dalam lafazh orang kafir. Untuk itu, mereka berkata, "Jika orang kafir masuk Islam, ia tidak berkewajiban mengqadha' shalat-shalat yang ditinggalkan sebelumnya, namun, jika orang murtad masuk lagi kepada Islam, maka mengenai hal ini ada dua pendapat (ada yang mengharuskan mengqadha', dan ada yang tidak)."


Ada beberapa ulama yang berpendapat, bahwa hadits Nabi, "Seorang muslim tidak dibunuh, karena membunuh orang kafir," yang dimaksud adalah kafir harbi bukan dzimmi. Tidak diragukan lagi, mengartikan hadits "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir," kepada makna kafir harbi adalah lebih utama dan lebih dekat. Karena, umat Islam yang mendapatkan warisan dari mereka bisa mengajak para ahli dzimmah yang lain untuk memeluk agama Islam.


Kebanyakan dari mereka melarang masuk Islam karena takut jika kerabat mereka yang memiliki harta banyak meninggal, mereka tidak akan mendapatkan warisan sedikit pun. Saya pernah mendengar dari mereka mengatakan hal tersebut.


Oleh karena itu, jika diketahui, bahwa Islam tidak menggugurkan warisannya, maka upaya mereka untuk meng-halangi saudaranya dari masuk Islam semakin melemah, dan keinginan mereka sendiri untuk masuk Islam menjadi makin kuat. Hal ini saja sebenamya telah cukup untuk menjadi pengkhusus (at-takhshish) dalam masalah ini. Hal ini mempunyai kemaslahatan yang diakui oleh syariat dalam banyak ajarannya. Kemaslahatan bisa jadi lebih besar daripada kemaslahtan menikahi perempuan mereka. Dan, hal ini tidak menyalahi hal-hal pokok. Ahli dzimmah selalu menolong mereka, orang-orang Islam selalu berperang untuk mereka dan menebus tawanan mereka. Waris ada, karena adanya semangat tolong-menolong. Dengan demikian, umat Islam menerima waris dari mereka. Namun, mereka tidak menolong umat Islam, dengan demikian mereka tidak berhak menerima waris. Dasar waris bukanlah ikatan hati. Jika hati ini dijadikan alasan, orang munafik tidak menerima dan memberikan waris. Padahal, sunnah telah menjelaskan bahwa mereka menerima dan memberi waris.


Bagi orang murtad, orang Islam berhak menerima waris darinya. Adapun bagi dia, jika dia memiliki keluarga muslim yang mati, dan saat itu ia dalam keadaan murtad, maka si murtad tersebut tidak berhak menerima waris. Karena yang demikian itu, berarti dia tidak dalam barisan penolongnya. Tetapi, jika dia kembali lagi memeluk Islam sebelum warisan dibagikan, maka mengenai hal ini, orang-orang berbeda pendapat tentangnya; apakah dia mendapat warisan atau tidak.


Menurut madzhab Ahmad, bagi kafir asli dan orang murtad, apabila ia masuk Islam sebelum warisan dibagikan, maka mereka berhak mendapatkan warisan. Ini adalah pendapat beberapa sahabat dan tabi'in. Serta, hal ini mendukung dasar tadi, yaitu dapat mendorongnya kepada Islam.


Syaikh kita berkata, "Yang mendukung pendapat bahwa seorang muslim menerima waris dari orang kafir dzimmi tetapi tidak sebaliknya adalah, bahwa dasar dari waris yaitu adanya semangat tolong menolong. Sedangkan yang menghalangi dari waris adalah permusuhan. Untuk itu, banyak ahli fikih berpendapat, bahwa kafir dzimmi tidak menerima waris dari kafir harbi. Dalam ayat tentang diyat, Allah Ta'ala telah berfirman, "Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin." (An-Nisaa': 92)


Jika yang terbunuh muslim, diyatnya adalah untuk keluarganya. Jika yang terbunuh orang yang membuat perjanjian damai, diyatnya untuk keluarganya. Jika yang terbunuh adalah musuh umat Islam, dia tidak mendapatkan diyat. Karena, keluarganya adalah musuh umat Islam, bukan orang yang membuat perjanjian damai, dengan demikian, umat Islam tidak akan membayarkan diyat kepadanya. Jika mereka adalah orang yang membuat perjanjian, urnat Islam pasti akan membayarkan diyat kepadanya. Dengan demikian, orang-orang seperti itu tidak akan menerima warisan dari umat Islam, karena di antara mereka tidak ada ikatan iman dan keamanan."


Orang-orang yang berpendapat tidak mendapatkan warisan berkata; Kufur menghalangi waris. Orang yang membebaskan hamba sahaya, jika ia kafir, maka ia tidak akan menerima waris, ia seperti pembunuhan.

Sedangkan orang-orang yang berpendapat menerima waris berkata; Bahwa orang yang membunuh tidak menerima waris (dari orang yang dibunuh) adalah sebagai pelajaran/hukuman karena dia telah melanggar janji.


Nah, inilah bahwa ‘illat dalam warisan adalah pemberian pertolongan. Sedangkan adanya perbedaan agama, tidak memungkinkan untuk menjadi illat dalam masalah ini.


Maka permasalahan ini dapat masuk dalam kategori tiga kebaikan syariat berikut ini, yaitu: Orang (kafir atau murtad) yang masuk Islam sebelum harta warisan dibagikan, maka ia berhak mendapatkan warisan; Orang yang memerdekakan hamba sahaya, ia berhak menerima warisan dari bekas hamba sahayanya tersebut karena alasan perwalian; Dan, orang muslim berhak menerima warisan dari saudaranya yang kafir dzimmi.


Permasalahan di atas termasuk polemik yang terjadi antara para sahabat dan tabi'in. Namun untuk dua masalah yang terakhir, tidak diketahui bahwa para sahabat berpolemik tentangnya. Yang dinukil dari pendapat mereka adalah, mendapatkan warisan.


Syaikh kita berkata, "Masalah warisan dalam kaitannya dengan hal ini adalah sesuai dengan dasar-dasar syariat yang ada. Dimana umat Islam memiliki hak atas ahli dzimmah karena kewajiban-kewajiban yang dilakukan untuk melindungi darah mereka, membela diri mereka, menjaga nyawa dan harta mereka, dan membebaskan tawanan mereka. umat Islam telah memberikan manfaat, menolong, dan memperjuangkan mereka. Dengan demikian, umat Islam lebih berhak mewarisi dari mereka daripada orang kafir.


Sedangkan orang-orang yang berpendapat tidak menerima waris, berkata; Waris itu berdasarkan kesetiaan (wala'). Sedangkan kesetiaan antara muslim dan kafir telah terputus.


Namun, orang-orang menjawab, bahwa waris tidak berdasarkan kesetiaan hati (batin) yang akan mengakibatkan ganjaran di akhirat. Karena, hal tersebut telah jelas antara umat Islam dan musuh mereka yang paling besar, yaitu orang munafik, yang disebut dengan Al-Qur'an, "Mereka itulah musuh - yang sebenarnya - maka waspadalah terhadap mereka." (Al-Munafiqun: 4)


Kesetiaan hati bukan syarat dalam waris, tetapi syarat tersebut adalah pertolongan. Orang Islam menolong ahli dzimmah, dengan demikian menerima waris dari mereka. Sedangkan ahli dzimmah tidak menolong umat Islam, dengan demikian tidak menerima waris dari mereka."[Ibnul Qayyim, :Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, "tahqiq; Shubhi Shalih, hlm. 462-465, cet. Jamiah Dimasyq. Lihat juga halaman 474 dan setelahnya.]


Bisa juga dilihat dari sisi bahwa waris termasuk ke dalam bab wasiat seorang ayah yang meninggal kepada anaknya. Wasiat dari orang kafir kepada muslim, atau dari muslim kepada orang kafir yang bukan harbi adalah jelas-jelas boleh. Mereka berpendapat, bahwa manusia boleh mewasiatkan seluruh hartanya, meskipun kepada anjingnya. Dengan demikian, kepada anaknya adalah lebih utama.


Jika kita mengambil pendapat jumhur yang tidak membolehkan seorang muslim menerima waris dari non-muslim, kita harus berkata kepada muslim yang ditinggal mati oleh ayahnya ini dengan, "Ambillah peninggalan harta ayahmu yang diberikan oleh hukum. Lalu manfaatkanlah olehmu yang sesuai dengan keperluanmu dan keluargamu. Kemudian berikanlah sisanya untuk amal kebaikan yang diperlukan oleh umat Islam - sebagaimana yang ditulis dalam surat. Jangan kamu berikan harta ini kepada negara. Karena, terkadang ia memberikannya kepada projek Kristianisasi dan yang lainnya."


Ini hampir sama dengan fatwa saya tentang harta yang diperoleh dari barang haram, seperti bunga bank dan yang lainnya. Saya telah mengeluarkan fatwa, demikian juga sebagian lembaga-¬lembaga keagamaan; agar umat Islam tidak meninggalkan harta tersebut (bunga bank) di bank yang menggunakan sistem riba, terutama di negeri asing. Harta tersebut harus diambil dan dimanfaatkan. Ia harus diberikan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat Islam (karena harta tersebut kalau tidak diambil, ia justru akan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Dan, ini lebih berbahaya).


***dipetik dari buku "Fiqh Maqasid Syariah," Dr. Yusuf al-Qaradhawi.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan