CAT-tegories:

Rabu, 31 Disember 2008

puss in boots



Puss in Boots is a fictional cat from the Shrek film series, voiced in English and both Spanish versions by Antonio Banderas. He is based loosely on the fairy tale character of the same name, and is the main "other fairy tale character" in the two sequels. He was introduced in Shrek 2.


Shrek 2



Recommended to King Harold by Doris, the Ugly Stepsister and barmaid of the Poison Apple Inn, as a famous ogre assassin, Puss is hired by the king to assassinate Shrek. However, unlike his fairy tale counterpart, he does not try to trick the ogre into changing into a mouse, but instead makes a direct, frontal assault on Shrek, which works up until the feline gags on a hairball, spitting it up. Shrek and Donkey think of what to do with him as Donkey even proposes to give him the 'Bob Barker treatment', but the swashbuckling cat begs for his life. Ultimately, they spare his life, and Puss proposes to the ogre he owes a life debt to him, in thanks. Although there is some tension/rivalry between Puss and Donkey (who seems nervous that Puss is taking his place as "annoying talking animal"), the three eventually become close friends and allies.

Shrek appears to have accepted this debt, as Puss in Boots stays with him throughout the course of the film. Donkey had a particular rivalry with him, considering Puss a threat to his position as Shrek's best friend. It is revealed that Puss has a litter of siblings, a sick mother and a father who lives off the garbage (although he may have been lying so Shrek would spare his life). He has also stated that he "hates mondays". When Shrek and Donkey enter the castle to find Fiona and are being chased by guards, Puss repays his debt to Shrek by holding them off (he removes his hat, looks at the guards cutely, and then attacks them when they stop and say "aww!") When Shrek and Fiona get back together, the king turned back to a frog, Donkey finds out he has become a dad. Due to the friendship that has developed Puss decides to be Donkey's dronkies' uncle.

Shrek the Third



Donkey and Puss remain in Far Far Away with Fiona and Shrek, helping the royal couple run the country in the place of the ailing king. Puss joins Shrek and Donkey on their journey to find Artie (Fiona's cousin and heir to the throne) and later encourages Shrek to be more kind to Artie to gain the teenager's trust. He also tries to advise Shrek who has just found out that Fiona is expecting a baby, on fatherhood.

When the group is magically sent back to Far Far Away by Merlin, Puss and Donkey have their bodies accidentally switched, something they were not happy about. The two swapped animals later join forces with the Far Far Away princesses and other captives of Prince Charming and help rescue Shrek. Towards the end of the movie, they confront Merlin and demand he put them in their correct bodies. He does so, although their tails seem to have been switched this time (in the next scene, this is shown to have been corrected as well).

At the end of the movie, Puss helps Shrek and Fiona care for their new born triplets. He has trouble with them pulling his fur and tail.

Shrek the Halls

In Shrek the Halls, Puss tells the story of Santa Claus as a smooth Spanish cat (similar to himself). He is distracted from telling the tale when he sees a glass Christmas tree ornament and begins batting at it. When he realizes what he was doing, he walks away muttering "I have shamed myself". Later, when Shrek explains that he never celebrated Christmas before and wanted it to come right, Puss tells his friend "Christmas just comes".

Personality


Despite his small size, Puss is a capable fighter even when outnumbered against much larger opponents. He is skilled with a sword and often practically dances around his enemies who can't keep up with him. One of his defenses is using his cute nature by staring up at his foes with an innocent, wide-eyed, expression, which softens his foes hearts. He tried this technique twice in Shrek the Third, both times unsuccessful. The first time, he stands outside the window of Shrek's room but Shrek simply closed the curtains on him. Later, he tried this in Donkey's body, but the effect was spoiled by Donkey's crooked teeth which disgusted his enemies who promptly tried to kill him.

He will appear in the upcoming spin-off movie, Puss in Boots: The Story of an Ogre Killer. His character is set to return in the upcomming Shrek sequels.

Inspiration


Puss' Shrek form is based on Zorro's (whom Banderas also portrayed in the The Mask of Zorro and The Legend of Zorro) fighting style, accent (Spanish) and personality. While attacking Shrek, he used his sword to scratch up a P, a parody of Zorro's trademark move. In Shrek the Third Donkey, while in Puss' body, scratches a D instead.


******dikopi pes dari wikipedia

Isnin, 29 Disember 2008

Cat Stevens: A Pop Star Facing Death


After the end of The Beatles era, Cat Stevens rose to become an idolized pop sensation in the UK. He has sold over 60 million albums around the world since 1966 to 1978, before he left the industry.

After a year of financial success and ‘high’ living, he became very ill, contracted TB and had to be hospitalized. It was then that he started to think,

“What was to happen to me?”

“Was I just a body, and my goal in life was merely to satisfy this body?”

“Why am I here?”



cat stevens

Questions such as this are not only important as you are approaching death, leaving behind your material gains for others to enjoy, but are also significant throughout your entire life.

Fortunately, we don’t have to worry.

Islam has provided the answer to all these questions!

Aren’t we proud to be Muslims?


design by Sabau

Rabu, 24 Disember 2008

Milikilah cita2 yg tinggi


Kata Ibn Qayyim:

Cita2 yg tinggi adalah lambang kejayaan seseorang,

Cita2 yg rendah adalah lambang kegagalannya..

Orang2 yg mempunyai cita2 yg tinggi laksana burung helang yg terbang tinggi, ia tidak akan turun melainkan ia nampak akan tujuannya, juga, semakin tinggi ia terbang, semakin jauhlah dari hal2 yg dapat menggagalkannya”

[Madarij as-Saalikin, 3:172]

***dikopi pes daripada blog thtl


memberikan ucapan selamat hari raya kepada non-muslim - fatwa al-qaradhawi


Pertanyaan:

Saya adalah mahasiswa muslim yang sedang menempuh program doktoral bidang atom di sebuah negara Eropah, Jerman. Alhamdulillah, saya masih menjaga agama saya, melaksanakan kewajiban-kewajibannya, membantu saudara-saudara untuk berkhidmat kepada agama, dan menjaga hubungan baik dengan para imigran Islam yang besar di sini.

Permasalahan yang ingin saya sampaikan kepada Syaikh adalah, apa yang dihalalkan dan diharamkan bagi kita untuk mengucapkan hari-hari raya seperti hari raya negara dan agama? Terutama yang paling terkenal adalah hari raya kelahiran Al-Masih (Natal) atau yang disebut Christmas dan sering dirayakan oleh orang-orang dengan perayaan besar?

Apakah kita boleh mengucapkan selamat kepada teman sekampus, pembimbing disertasi, rakan sepejabat, atau tetangga rumah dengan kata-kata sopan dan telah menjadi kebiasaan?

Saya pernah mendengar dari sebagian teman, bahwa hal tersebut adalah haram, bahkan termasuk salah satu dosa besar kepada Allah. Karena, hal tersebut adalah termasuk mengakui dan membenarkan kebatilan dan kekufuran serta mendukung agama mereka.

Padahal, ketika saya mengucapkan selamat dengan kata-kata atau dengan memberikan hadiah, saya tidak pernah membayangkan bahwa saya membenarkan kebatilan atau mendukung kekufuran mereka. Ia tidak lain adalah semata bentuk pergaulan dan berinteraksi dengan baik antara sesama manusia yang diperintahkan oleh Islam. Terutama, mereka pun selalu mengucapkan selamat kepada hari raya kita. Bahkan, mereka kadang juga memberikan hadiah kepada kita. Justru, saya merasakan kekasaran dan kekerasan -yang tidak layak bagi seorang muslim- jika kasih sayang tersebut dibalas dengan wajah masam dan kening berkerut. Ia akan menyebabkan seorang muslim terasingkan dari keadaan, lari dari masyarakat, dan menjelekkan citra Islam itu sendiri. Terutama di zaman sekarang, dimana banyak musuh Islam sering menyerang dan menyebut Islam dengan kekerasan dan teroris. Dengan interaksi yang kasar seperti itu, berarti kita telah memberikan senjata kepada mereka untuk menyerang agama dan umat Islam. .


Saya harap Syaikh bisa menjelaskan sikap fikih Islam modern terhadap permasalahan yang sensitif ini sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan syariat. Seperti yang sering Syaikh terangkan kepada kita tentang permasalahan-pennasalahan yang serupa dengan ini. Kami memohon kepada Allah, mudah-mudahan umat bisa merasakan manfaat ilmu Syaikh. Mudah-mudahan, Dia memberikan berkah pada kejuhudan dan jihad Syaikh, amin.



Jawab:

Tidak diragukan lagi, permasalahan yang saudara tanyakan adalah permasalahan penting dan sensitif - sebagaimana yang saudara jelaskan sendiri. Saya mendapatkan pertanyaan serupa dari beberapa saudara dan saudari yang hidup di berbagai negara Eropah dan Amerika. Mereka tinggal bersama keluarga Kristian, dan menjalankan ikatan kehidupan seperti bertetangga dalam rumah, rakan dalam kerja, serta teman di kampus. Terkadang juga, seorang muslim merasakan jasa besar dari orang non-muslim dalam keadaan tertentu. Seperti ia menjadi pembimbing yang membantu mahasiswa muslim dengan ikhlas, doktor yang mengubati pesakit muslim dengan ikhlas, dll. Sebagaimana pepatah, manusia adalah budak kebaikan. Seorang penyair berkata:

“Berbaiklah kepada manusia,
Hati mereka akan diperbudak
Dengan kebaikan,
Manusia akan senantiasa diperbudak.”

Bagaimana sikap seorang muslim terhadap non-muslim yang memiliki sikap damai, tidak memusuhi, tidak memerangi agama, tidak mengusir, atau ingin mengusirnya?

Al-Qur'an telah menjelaskan hubungan antara umat Islam dan yang lainnya dalam dua ayat surat Al-Mumtahanah. Surah tersebut diturunkan tentang orang-orang musyrik pagan (penyembah berhala). Dimana Allah berfirman,

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dan negerimu dan membantu -orang lain- untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zhalim."
(Al-Mumtahanah: 8-9)

Dua ayat tersebut membedakan antara non-muslim yang memiliki sikap damai dan sikap memerangi (memusuhi).

Kepada yang berbuat damai, Al-Qur'an mengajarkan agar kita berbuat baik (al-birr) dan berlaku adil (al-qisth) kepada mereka. Al-Birr itu melebihi keadilan itu sendiri. Adil adalah Anda mengambil hak Anda, sedangkan kebaikan adalah Anda memberikan sebagian hak Anda. Adil adalah memberikan hak kepada orang lain tanpa dikurangi sedikit pun, sedangkan kebaikan adalah menambah kebaikan terhadap orang lain.

Adapun ayat yang melarang untuk berbuat baik kepada non¬muslim adalah dari mereka yang memusuhi, memerangi, dan mengusir umat Islam dari negeri mereka dengan tanpa alasan yang benar - hanya karena umat Islam berkata, "Tuhan kami adalah Allah." Seperti yang telah dilakukan oleh suku Quraisy dan orang-orang musyrik Makkah kepada Rasulullah dan para sahabat.

Tentang perlakukan kepada non-muslim yang berbuat damai Al-Qur'an menggunakan kata "al-birr" (kebaikan). Kata tersebut digunakan untuk hak paling besar setelah hak Allah, yaitu berbakti kepada orang tua (birr al-walidain).

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Asma' binti Abu Bakar, dia datang kepada Nabi dan bertanya, "Ya Rasulullah, ibuku datang kepadaku sedangkan dia adalah seorang musyrik. Saya senang sekali menjaga silaturrahim dengannya, [Maksudanya ingin bersilaturrahim dan memberikan hadiah kepadanya.] apakah saya boleh bersilaturahim dengannya?" beliau menjawab, "Bersilaturrahimlah dengan ibumu." [HR. AI-Bukhari, Kitab Al-Adab (5979), dan Muslim, Kitab Az-Zakah (1003).]

Ibu Asma' adalah seorang musyrik. Sebagaimana diketahui, sikap Islam terhadap Ahli Kitab lebih ringan daripada sikap Islam terhadap orang-orang musyrik pagan.

Bahkan, Al-Qur`an membolehkan untuk memakan makanannya dan menjadikan mereka kerabat. Dengan kata lain, boleh memakan sembelihan dan menikahi perempuan mereka. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh surat Al-Maa'idah..

"Makanan -sembelihan- orang-orang yang diberikan Al-Kitab halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu."
(Al-Maa idah: 5)

Salah satu hasil dari pernikahan yang dibolehkan tersebut adalah, kasih sayang di antara suami-istri. Allah Ta'ala berfirman,

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang."
(Ar-Rum: 21)

Bagaimana mungkin seorang suami tidak mencintai istrinya, seorang pengurus rumahnya, teman seumurnya, dan ibu bagi anak-anaknya? Tentang hubungan suami-istri ini, Allah Ta'ala telah berfirman,

"Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun pakaian bagi mereka."
(Al-Baqarah: 187)

Salah satu hasil dari pernikahan juga adalah adanya keibuan dan hak-hak Islam terhadap anak. Apakah termasuk ke dalam kebaikan hari raya besar seperti ini, lewat begitu saja tanpa ada ucapan selamat sedikit pun? Bagaimana sikap kepada saudara dari pihak ibu seperti kakak, nenek, pakcik, makcik, dan saudara sepupu? Padahal, mereka semuanya mempunyai hak-hak kerabat? Allah Ta'ala telah berfirman,

"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya daripada yang bukan kerabat- di dalam kitab Allah."
(Al-Anfal: 75)

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat."
(An-Nahl: 90)

Jika hak keibuan dan kekerabatan akan menyebabkan seorang muslim dan muslimah mempunyai hubungan ibu dan kerabat yang tercermin dari akhlak baik, toleransi, serta memenuhi janji, maka hak-hak yang lain pun mengharuskan seorang muslim untuk tampil dengan akhlak baik. Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Abu Dzar dengan mengatakan,

"Bertakwalah di mana pun kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan, ia pasti akan menghapusnya. Serta bergaullah kepada manusia dengan akhlak yang baik."

Demikianlah, Nabi bersabda, "Bergaullah kepada manusia," bukan "bergaullah kepada umat Islam dengan akhlak yang baik." [HR. Ahmad (21354). Orang-orang yang menakhrij Musnad berkata, "Hasan lighairih. "Sanad hadits ini para rawinya kuat. Diriwayatkan juga oleh Ad-Darimi (2791), dan At-Tirmidzi (1988), dan Al-Hakim (1/54). At-Tirmidzi berkata, "Hadits hasan."]

Dalam bergaul dengan non-muslim, Nabi pun mendorong untuk berlaku lemah lembut, bukan keras.

Ketika beberapa orang Yahudi yang masuk ke rumah Nabi, mereka mengucapkan salam dengan "As-Sam alaika ya Muhammad" (racun untuk kamu wahai Muhammad." "As-Sam" adalah kebinasaan dan kematian. Ketika Aisyah mendengar hal tersebut, dia berkata, "Wa'alaikum as-sam wa al-la'nah ya a'da'allah" (racun dan laknat untuk kalian juga wahai musuh-musuh Allah).

Namun, Rasulullah menegur Aisyah. Aisyah pun berkata, "Apakah engkau tidak mendengar yang mereka katakan?" Beliau menjawab, "Saya mendengar dan menjawab wa'alaikum.” [Yakni, kematian akan datang kepada kalian sebagaimana datang kepadaku.] Wahai Aisyah sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam seluruh hal." [Muttafaq Alaihi. Al-Bukhari, Kitab AI-Jihad(2935), Muslim, Kitab As-Salam dari Aisyah (2165).]


Bolehnya mengucapkan salam dalam acara seperti ini, jika mereka - seperti yang ditanyakan oleh penanya- yang memulai mengucapkan selamat terhadap hari-hari Islam. Kita diperintah untuk membalas kebaikan dengan kebaikan, menjawab salam dengan salam lebih baik, atau paling sedikit dengan salam yang sama. Seperti firman Allah Ta'ala,

"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah - dengan yang serupa."
(An-Nisaa': 86)

Seorang muslim tidak layak memiliki rasa hormat dan akhlak yang rendah. Karena, seorang muslim haruslah orang yang lebih bisa menghargai dan memiliki akhlak mulia. Sebagaimana ada dalam sebuah hadits,

"Orang mukmin yang memiliki keimanan paling sempurna adalah yang memiliki akhlak paling baik.”
[HR. Ahmad]

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik."
[HR. Ahmad dari Abu Hurairah (8952). Orang-orang yang menakhrij Musnad berkata, "Shahih, hadits ini sanadnya kuat." Ibnu Sa'ad meriwayatkan dalam "Ath¬Thabaqat"(1/192), Al-Bukhari dalam "Al-Adab Al-Mufrnd" (273), dan Al-Hakim (2/613).]

Diriwayatkan, bahwa seorang Majusi pernah berkata kepada Ibnu Abbas, "Assalamu'alaikum." Ibnu Abbas menjawab, "Wa'alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuh." Sebagian sahabat bertanya, "Engkau berkata kepadanya wa barakatuh?" Ibnu Abbas menjawab, "Bukankah dalam rahmat Allah dia hidup?"

Hal tersebut lebih dikuatkan jika kita ingin mengajak dan mendekatkan mereka kepada Islam, serta dicintai oleh umat Islam. Hal tersebut tidak akan berhasil jika kita dan mereka saling menghindar.

Sepanjang period Makkah, Nabi adalah orang yang memiliki akhlak dan pergaulan baik kepada orang-orang musyrik Quraisy. Meskipun mereka selalu menyakiti dan memusuhi beliau serta para sahabat. Bahkan, karena sangat percaya kepada beliau, mereka menitipkan barang-barang kepada beliau. Hingga ketika hijrah ke Madinah, beliau menitipkan barang-barang tersebut kepada Ali dan menyuruhnya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya.

Dengan demikian, tidak ada salahnya seorang Muslim atau lembaga Islam untuk metnberikan ucapan selamat hari raya kepada mereka. Baik dengan lisan atau kad ucapan yang tidak mengandung simbol agama yang bertentangan dengan prinsip-¬prinsip Islam, seperti salib yang dilarang oleh Islam, sebagaimana dalam firman-Nya,

"Mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi -yang mereka bunuh adalah- orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka."
(An-Nisaa': 157)

Kata ucapan selamat tidak mengandung pengakuan atau ridha terhadap agama mereka. Namun, ia adalah sekadar kata hormat yang biasa dikenal oleh manusia.

Serta, tidak ada salahnya untuk menerima hadiah dari mereka dan membalasnya. Nabi pun pernah menerima hadiah dari non-muslim, seperti Mauqis, pembesar Koptik. Dengan syarat, hadiah tersebut bukanlah yang diharamkan oleh Islam, seperti arak dan daging babi.



Saya mengetahui, bahwa Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah berlaku keras terhadap hari raya-hari raya orang musyrik, Ahli Kitab, dan orang yang mendukungnya. Hal tersebut dia tulis dalam bukunya yang brilian, "Iqtidha' Ash-Shirath Al-Mustaqim Mukhalafah Ahl Al-Jahim."

Saya bersama Ibnu Taimiyah untuk tidak menyetujui umat Islam yang merayakan hari raya-hari raya orang musyrik dan Ahli Kitab. Sebagaimana kita sering melihat sebagian umat Islam yang merayakan christmas, Idul Fitri, dan Idul Adhha. Inilah yang tidak boleh dilakukan. Kita memiliki hari raya, mereka pun memiliki hari raya. Namun, saya berpendapat, bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada kerabat, tetangga, rakan, atau hubungan sosial lainnya yang mengharuskan adanya kasih sayang dan hubungan baik serta dibenarkan oleh tradisi yang benar adalah tidak mengapa.


Syaikhul Islam memfatwakan hal itu sesuai dengan kondisi zamannya. Jika hidup di zaman kita sekarang, melihat kompleksiti hubungan antara manusia, dunia yang mendekat hingga menjadi desa kecil, keperluan umat Islam untuk berinteraksi dengan non¬Muslim, non-muslim menjadi dosen bagi umat Islam, keperluan dakwah untuk mengajak mereka kepada Islam, menampilkan gambaran Muslim dengan gambaran ramah bukan keras, dan kabar gembira bukan ketakutan, mengucapkan hari raya kepada tetangga, kawan, atau dosen bukan berarti keridhaan terhadap akidah dan kekufuran, melihat orang Kristian sendiri tidak menganggap hari rayanya sebagai aktiviti agama yang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan tetapi menjadi tradisi negara yang dihabiskan untuk menikmati hari cuti, makanan, minuman, dan hadiah antara sahabat, Ibnu Taimiyah pasti akan mengubah atau meringankan pendapatnya. Dia adalah orang yang selalu memper-timbangkan waktu, tempat, dan kondisi untuk mengeluarkan sebuah fatwa.

Semua hal di atas adalah hari raya agama. Adapun hari raya negara -seperti hari proklamasi dan hari persatuan- hari raya sosial -seperti hari ibu, hari anak, hari buruh, hari pemuda, dll.- dalam kapasiti sebagai warga negara, tidak ada salahnya bagi seorang Muslim untuk mengucapkan selamat hari raya atau berpartisipasi dalam hari raya tersebut. Dengan syarat, dia tetap menjauhi hal-hal haram yang terkadang terjadi dalam acara seperti itu.

Hanya Allah-lah yang memberikan taufik.

***diambil daripada buku "Fiqh Maqasid Syariah" - Syeikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi

Antara Kucing Dan Burung

gmbr2 yg cute.. dpt drp email yg dikiwimkan oleh sis eny ryhanna

xtau la orinye sape punye..

***************************

Maaf saya sudah lupa dari mana saya "curi" gambar ini namun saya mohon pada tuan punya untuk memaparkannya di sini.. tengok foto-foto ini.. comel dan cute.. bak kata orang 'teman setia'


Kucing dan burung siap posing tengok kamera...


Pantang lepa.. mesti nak diterkamnya. .


Dah tak sabor.. dah..

bermula dengan usikan manja..

Pang.. penampor melekat kat muka burung tu...


Ku milik mu... nyamm... nyamm... nyamm...


Ngantuk ler pulak..


sejuk....



ngantuk giller



apa ni... orang nak tidur ler...


Gelilah... rung...


mmmm


memang best.. lena abis..




sysssssssssssssssss s

Isnin, 22 Disember 2008

Is Hinduism the womb of all Religions?



Soalan:


My mum ada mengatakan bahawa Hinduisim is the womb of all religions and most religions started in India..

Can anyone please help me on this?

(http://groups.yahoo.com/group/abumeow/message/118)


Jawapan:


Soalan ni ada 2 isu.....

Pertama: "most religions started in India." Kebanyakan agama bermula di India.

Kedua: "Hinduism is the womb of all religions." maknanya, semua agama adalah berasal dari agama hindu, kemudian berevolusi (evolved) jd agama lain..


1. Most religions started in India?


Kalau pun ia benar, itu tidak membuktikan bahawa agama Hindu adalah agama yang benar. It doesn't prove anything!

  • Agama Kristian yang mempunyai penganut sebanyak 33% daripada penduduk dunia tidak berasal dari India.
  • Agama Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad yang mempunyai penganut sebanyak 24% daripada penduduk dunia tidak berasal dari India.
  • Banyak lagi agama2 lain di afrika, amerika selatan, asia dsb. tidak berasal dari India.


2. Hinduism is the womb of all religions?

  • Hinduism is not the oldest religion in the world

Ramai orang mempunyai salah tanggapan bahawa Islam diasaskan (founded) oleh Nabi Muhammad, 1400 tahun yg lalu. Kalau fakta ini benar, ada 1 masalah... apa akan jadi kepada umat manusia sebelum kelahiran founder agama tersebut? Adakah mereka akan diazab kerana x dpt mengikut ajaran founder agama tersebut?

AlhamduliLLah, agama Islam adalah agama yang selamat daripada masalah tersebut. Nabi Muhammad bukan founder agama Islam. Beliau adalah utusan Tuhan yang terakhir bagi menyampaikan mesej Islam kepada manusia. He was the last and final messenger of God.

Islam adalah agama yang tertua di dunia. Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi2 sebelum Nabi Muhammad. Ia adalah agama yang dibawa oleh Jesus, Moses, Abraham, Jacob, Noah etc. Islam existed since time immemorial, ever since man first set foot on this earth!

“… Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini…”
(al-Hajj 22:78)

"(Abraham and Ishmael said) "Our Lord! Make of us Muslims bowing to Thy (Will); and of our progeny a people Muslim, bowing to Thy (Will); ..."
(al-Baqarah 2:128)


Bagaimana agama Hindu boleh menjadi "the womb of all religions" kalau ia bukan agama tertua di dunia??

  • Agama Hindu vs Agama Islam.


Kalau agama Islam berasal daripada agama Hindu, ini bermakna agama Islam adalah ditiru daripada agama Hindu. Jom kita check samaada dakwaan ini berasas atau tidak...

Pernahkah agama Hindu sampai ke tanah Arab di zaman Nabi Muhammad?

Pernahkah kitab-kitab Hindu diterjemah ke bahasa Arab di zaman Nabi Muhammad?
Kalaupun ada, Nabi Muhammad adalah seorang yg 'Ummi'. Beliau tidak tahu membaca dan menulis. Bagaimana dia boleh meniru?

Adakah 'kitab yang ditiru' lebih tepat daripada 'kitab yang meniru'?

Tidak. Sbg contoh, dlm bidang embryology, al-Quran melaporkan fakta tentang kejadian manusia dgn cukup tepat, sejak lbh drp 1000 tahun sblm penemuan sains dalam perkara tersebut dibuat. (refer: http://www.islam-guide.com) Tetapi, kitab hindu melaporkan fakta yang silap ttg perkara tersebut.

Al-Quran tidak mempunyai sebarang kesilapan. Kitab-kitab hindu mempunyai byk kesilapan. Mungkinkah al-Quran ditiru daripada kitab-kitab hindu? Mengapa 'penulis' al-Quran tidak meniru sekali kesalahan saintifik, pornografi dan sebagainya yang terdapat dalam kitab-kitab hindu?


Kita ambil contoh 2 org students. Student A dan student B. Mereka duduk dalam 1 exam. Student A dpt markah 80%. Student B dpt markah 100%. Boleh x kita kata student B tiru student A? Kalau kita kata student B meniru, mengapa dia hanya meniru jawapan yg betul? mengapa dia tidak meniru jawapan yg salah sekali? Bukan setakat itu, dia membetulkan kesalahan student A! Ini bermakna, dakwaan tersebut adalah tidak berasas sama sekali.

WaLLahu a'alam.


Ahad, 21 Disember 2008

membuktikan kewujudan Tuhan dengan penampar??


Saya pernah cuba menimbulkan perbincangan di beberapa buah forum online tentang bukti kewujudan Tuhan.

Ramai di kalangan ahli-ahli forum tersebut yang mengemukakan kisah seorang ulama' yang 'membuktikan' kewujudan Tuhan dengan menampar orang yang bertanya.

Kisahnya lebih kurang begini....


Seorang lelaki datang bertemu dengan seorang ulama', lalu bertanya 3 soalan. salah satu soalan itu adalah.. "Kita tidak dapat melihat Tuhan, bagaimana kita tahu Tuhan itu wujud?"

Ulama' itu terus menampar muka lelaki itu. Kemudian ulama' itu bertanya, "Kamu rasa sakit tak?"

"Sakit," jawab lelaki itu.

"Kamu nampak tak sakit tu?"

"tak.."

"Begitu juga dengan Tuhan, kita tak nampak Tuhan, tapi Dia wujud..."



Begitulah lebih kurang ceritanya.


kisah ini kelihatan seperti logik. Namun, pd pandangan saya, ada beberapa kekurangannya...


1) Saya tidak pasti sejauh mana kesahihan kisah ini. Adakah ia benar-benar berlaku atau hanyalah suatu cerita rekaan semata-mata?

2) Memberikan jawapan dengan penampar bukanlah suatu hikmah dalam berdakwah. sekiranya kita melihat kisah ini dari perspektif non-muslim, mungkin kisah ini akan menimbulkan suatu bentuk persepsi negatif terhadap Islam. tambahan pula, kisah ini dikaitkan dengan suatu watak yang membawa title 'ulama''.

3) Sebahagian drp hujah ini benar, iaitu sesuatu yang tidak dapat dilihat tidak semestinya tidak wujud. Namun, ada kelemahan dari bahagian yang lain. Kelemahan inilah yang ingin saya sentuh..


Dalam kisah ini, lelaki itu ditanya, "kamu nampak tak sakit tu?"

Hujah ini kelihatan logik. tapi ramai orang terlepas pandang.. mata adalah deria penglihatan, bukan deria merasai kesakitan..

Hujah ini boleh dipatahkan dengan mudah.. lelaki itu hanya perlu menjawab..

"Saya tidak dapat melihat kesakitan, tapi kulit di muka saya dapat merasai kesakitan itu. tapi bolehkah Tuhan dirasai dengan deria sentuh pada kulit saya??"

Tidak! Deria sentuh pada kulit kita tidak dapat mengesan/merasai Tuhan...

Katakan kita pergi ke sebuah tempat. Di tempat itu kita terhidu bau bunga ros. Kita tidak dapat melihat bunga ros itu, tapi kita tahu bahawa di situ ada bunga ros. Ini kerana deria bau pada hidung kita dapat menghidu bau bunga ros.

Namun, bolehkah deria bau pada hidung kita mengesan/menghidu Tuhan?

Tidak!



Begitulah juga dengan deria2 kita yang lain..

Deria pendengaran pada telinga kita tidak dapat mendengar Tuhan...



Deria rasa pada lidah kita tidak dapat merasai Tuhan...




Ini kerana, kelima-lima deria kita tidak dapat mengesan/perceive Tuhan. Malah, kesemua bentuk deria atau sensor yang ada di alam semesta tidak dapat perceive Tuhan.

Dia tidak dapat dicapai oleh (segala bentuk) penglihatan, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
[al-An’am 6:103]

Tapi, ini tidaklah bermakna Dia tidak wujud.

Katakan kita ambil ular sebagai contoh. Ular tidak mempunyai deria pendengaran. Mungkin bagi ular, 'bunyi' tidak mempunyai apa-apa makna dalam hidupnya. Tapi adakah ini bermakna bunyi tidak wujud?



Begitu juga dengan kelawar. Ia tidak mempunyai deria penglihatan. Mungkin perkataan 'warna' tidak membawa apa-apa erti baginya. Namun, adakah ini bermakna warna tidak wujud?




Walaupun deria tidak dapat mengesan sesuatu, ia tidaklah membuktikan bahawa sesuatu itu tidak wujud.

Ia hanyalah disebabkan oleh keterbatasan pada diri makhluk itu sendiri.

Dalam berinteraksi dengan isu kewujudan Tuhan ini, kita juga perlu mengelakkan daripada argumen yang biasa digunakan oleh orang-orang Kristian dan sebahagian orang-orang Islam..

"You can't prove that God doesn't exist. Therefore, God exists.."

Hujah ini mungkin diterima oleh sebahagian orang. Tapi bagi mereka yang berfikir secara saintifik, mereka menolak hujah ini.

Oleh itu, kewujudan Tuhan perlulah dibuktikan kepada mereka.

Saya telah pun menjelaskan tentang perkara ini dalam blog saya yang dahulu.

WaLLahu a'alam.

Merejam Syaitan di Jamrah?

dikopi pes dr blog ust abu umair: http://abuumair1.wordpress.com/2008/12/09/merejam-syaitan-di-jamrah/

********************

Melontar jamrah adalah salah satu kewajipan yang mesti dilaksanakan dalam ibadah haji. Ia dilakukan bermula dengan lontaran di Jamrah Aqabah pada hari raya Eidul Adha sebagai salah satu amalan tahallul, kemudian diikuti dengan lontaran ketiga-tiga jamrah pada tiga hari berikutnya yang dinamakan Hari-hari Tasyriq.

jamrah1

Namun, tersebar di kalangan orang awam terutama yang mengerjakan haji bahawa ibadah melontar jamrah merupakan simbol kepada merejam dan memusuhi syaitan yang dilaknati Allah. Maka kerap kali kita mendengar kepercayaan ini diselitkan dalam khutbah-khutbah Hari Raya Eidul Adha ataupun dalam siri-siri ceramah haji.

Lebih daripada itu, ada juga kepercayaan kononnya pada hari raya Eidul Adha dan pada Hari-hari Tasyriq, syaitan dan kuncu-kuncunya berada di tiga jamrah tersebut. Oleh itu melontar jamrah bukan setakat simbolik permusuhan dengan syaitan, malahan satu rejaman yang sebenar terhadap makhluk itu. Saya tertarik dengan hujah logik Dr Asri dalam artikel yang bertajuk: Haji, Antara Falsafah, Tokok Tambah dan Nas.

Beliau menyebut, “Apakah syaitan yang begitu bijak menipu dan menghasut manusia menjadi begitu bodoh sehingga sanggup tunggu di jamrah-jamrah pada waktu haji untuk membiarkan diri mereka dilontar oleh jutaan manusia?”.

Sebenarnya, fakta yang mesti didedahkan kepada jemaah haji ialah kepercayaan bahawa melontar batu di tiga jamrah yang terletak di Mina, adalah satu ibadah untuk mengingatkan kepada Allah Taala, dan mengikuti sunnah Rasul-Nya Sallallahu Alaihi Wasallam ketika haji. Ia adalah satu bentuk zikir kepada Allah. Sebagaimana sembahyang adalah satu zikir kepada Allah, begitu juga melontar jamrah adalah satu zikir kepada Allah.

Ini disokong oleh kenyataan Rasulullah Sallallahu Alahi Wasallam sendiri, di dalam sabdanya, “Sesungguhnya dijadikan tawaf di Kaabah, saie antara Safa dan Marwah, dan lontaran jamrah-jamrah adalah untuk menegakkan zikir kepada Allah”. Hadis ini direkod oleh Abu Daud dan Tirmizi dan beliau menilainya sebagai ‘hasan sahih’.

Jelas, falsafah yang diajar oleh baginda dalam melakukan ibadah melontar ialah ia sebagai satu bentuk zikir kepada Allah Taala. Kerana itu, antara sunnah yang dianjurkan ketika melontar ialah mengiringi setiap lontaran dengan ungkapan “Allahu Akbar”, sebagaimana termaktub dalam hadis yang sahih.

Malangnya, mereka yang berpegang kepada kepercayaan merejam syaitan tidak merasa cukup dengan zikir “Allahu Akbar” yang diajar oleh baginda. Ditokok tambah pula dengan bacaan-bacaan lain agar selari dengan falsafah merejam syaitan. Akhirnya, tersebarlah satu doa tambahan yang masyhur dibaca ketika melontar iaitu, “Allahumma Rajman Li as-Syaitani Wa Hizbih”. Yang bermaksud, “Wahai Tuhan, (aku melakukannya) sebagai rejaman kepada syaitan dan kuncu-kuncunya”.

Amat menyedihkan, apabila ada jemaah tidak bertakbir semasa melontar, tetapi doa rejaman syaitan tidak pernah dilupakan setiap kali lontaran. Bacaan yang sunnah ditinggalkan, diganti pula dengan bacaan yang direka-reka.

Kepercayaan merejam syaitan di jamrah juga mengakibatkan ibadah ini dilakukan dengan penuh rasa kemarahan dan batu juga dilontar dengan sepenuh kudratnya. Saya sendiri pernah menyaksikan seorang rakan yang bergelar ustaz, melontar anak batu di jamrah dengan cara melompat dan berteriak dengan sekuat hatinya. Entah apa perkataan yang keluar dari mulutnya ketika itu. Padahal, tindakan seperti itu hanya mengganggu ketenangan jemaah lain dan mengundang suasana hingar bingar di tempat ibadah.

Kerana kepercayaan merejam syaitan ini juga, kita saksikan ada jemaah melontar dengan batu-batu yang besar, melampaui saiz anak batu yang diajarkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Kononnya supaya syaitan lebih merasa terseksa dengan rejaman itu. Tidak cukup dengan rejaman tujuh anak batu di satu-satu jamrah, ditambah pula dengan melontar benda-benda lain seperti selipar, kayu , sampah dan sebagainya.

Inilah natijahnya jika satu-satu ibadah tidak dijelaskan konsep yang sebenar. Ibadah yang sepatutnya dilakukan dalam penuh ketenangan dan khusyuk, bertukar menjadi satu tindakan yang kasar dan keras. Jauh daripada petunjuk Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam, dan melencong daripada maksud yang sebenar.

Maka amat wajar agar para penceramah, penganjur-penganjur kursus haji, penulis-penulis di akhbar atau di blog dan laman web, supaya apabila menuturkan satu-satu kenyataan tentang agama, khasnya berkaitan ibadah, hendaklah merujuk kepada sumber-sumber yang sahih. Jauhilah kepercayaan-kepercayaan yang tidak betul walaupun ia kedengaran menarik.

aku rela

Lagu ok, lirik best, tp video ni cam taasub Dr. Asri je.. hehe...






Artis: Algebra
Lagu: Xifu Abd Nasir
Lirik: Dr. Mohd Asri Zainul Abidin


Telah ku rela nama dan diri menjadi sasaran
Kerana cinta, aku berkorban
Telah ku rela segala tohmahan bermahajalela
Kerana cinta, aku terpaksa
Kerana cinta jua aku berbicara
Dengan nada insan terluka
Meluah rasa, meluah fakta, mencedera jiwa
Semuanya kerana cinta
Biarku tanggung rasa derita..
Asalkan agama, selamat akhirnya..
Yang membantah, hanya berfalsafah.
Kerana bimbang suapan harian
Dengan menjual nama tuhan..
Lalu kebenaran disingkirkan,
Demi hidangan belian pendustaan
Namun aku yang sengsara zahirnya
Redha telah pun penuhi jiwa
Dalam keletihan ini.. aku bahagia
Kerana..
Pada kebenaran itulah terasa nikmat syurga

Jumaat, 19 Disember 2008

Shoetastic game!


Stressed??? Hit Bush with a shoe!!


Click here>>> http://www.sockandawe.com

Khamis, 18 Disember 2008

fatwa al-Qaradhawi tentang perwarisan harta dari non-muslim kepada muslim


Pertanyaan:



Saya adalah seorang laki-laki yang telah masuk Islam lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sedangkan keluarga saya adalah keluarga Kristian berbangsa Inggeris. Saya telah berusaha untuk berdakwah dan mengenalkan Islam kepada mereka. Namun, Allah belum membuka hati mereka untuk menerima agama Islam. Mereka pun masih tetap dalam keadaan Kristian. Ibu saya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Dengan demikian, saya memiliki sedikit harta warisan darinya. Namun, saya menolak untuk mengambil harta warisan tersebut. Hal itu karena seorang Muslim tidak boleh menerima harta warisan orang kafir. Demikian juga orang kafir tidak boleh menerima harta warisan seorang Muslim.


Sekarang, bapak saya yang meninggal dunia dan meninggal¬kan harta yang banyak. Sedangkan saya adalah ahli warisnya satu-¬satunya. Hukum yang berlaku menetapkan bahwa peninggalan harta waris ini menjadi hak saya seorang.


Apakah saya harus menolak peninggalan harta yang sangat banyak tersebut dan memberikannya kepada non-muslim untuk dimanfaatkan mereka? Padahal, secara hukum, harta tersebut adalah kepunyaan dan hak saya seorang. Saya pun sangat memerlukan harta tersebut. Karena, saya akan menggunakannya untuk keperluan saya dan keluarga saya yang muslim. Baik istri, ataupun anak-anak saya. Terlebih lagi, saya akan memberikannya kepada saudara-saudara saya yang muslim. Karena, mereka teramat memerlukan pertolongan. Kemudian, saya akan mengeluarkannya pada projek-projek Islam yang bermanfaat, luas, dan sedang memerlukan pelaburan.


Kemudian, majoriti umat Islam adalah orang-orang yang lemah ekonominya. Syaikh juga mengetahui, bahwa harta adalah urat kehidupan dan bisa mempengaruhi masalah politik. Dengan demikian, mengapa kita meninggalkan kesempatan yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh umat Islam dan bisa merealisasikan kekuatan ekonomi, padahal ia bukan melakukan hal haram atau syubhat?


Saya harap bisa mendapatkan solusi permasalahan ini dari Syaikh. Ini bukanlah permasalahan saya saja, tetapi permasalahan ribuan bahkan puluhan ribu orang seperti saya. Hati mereka telah dibuka untuk agama yang besar ini. Sehingga, mereka beriman untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi.


Jawapan:


Sheikh Yusuf al-Qaradhawi


Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam mudah¬-mudahan tetap tercurahkan kepada Rasululllah.



Jumhur ahli fikih berpendapat, bahwa seorang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, begitupun sebaliknya. Perbedaan agama menjadi sebab terhalangnya warisan. Para ahli fikih beralasan dengan hadits Al-Bukhari clan Muslim yang menyatakan, "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang muslim." [HR. Al-Bukhari, Kitab A!-Maghazi (6764), Muslim, Kitab Al-Fara'idh (1614) dari Usamah bin Zaid.] Serta, hadits lain yang menyatakan, "Pemeluk dua agama (berbeda), tidak boleh saling mewarisi." [HR. Ahmad (6664). Orang-orang yang menakhrij Musnad berkata, "Hasan lighairih." Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (2911), Ibnu Majah ((2731) dari Abdullah bin Amr. Hadits ini ada dalam "Shahih A/-Jami'Ash-Shaghir"(7614). At-Tirmidzi meriwayatkan dengan gharib dari Jabir (2109).]


Pendapat tersebut diriwayatkan dari Khulafaur-rasyidin. Imam empat madzhab dan seluruh ahli fikih pun berpendapat hal yang serupa. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah.


Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muadz, dan Mu'awiyah, bahwa seorang muslim boleh menerima waris dari orang kafir, dan tidak sebaliknya. Hal iu diceritakan oleh Muhammad bin Al¬-Hanafiyyah, Ali bin Al-Husain, Sa'id bin Al-Musayyab, Masruq, Abdullah bin Ma'qil, Asy-Sya'bi, Yahya bin Ya'mar, dan Ishaq. ["Al-Mughni," (9/154)]


Diriwayatkan juga dari Yahya bin Ya'mar, bahwa pernah dua orang saudara Yahudi dan muslim bersengketa kepadanya tentang warisan saudaranya mereka yang kafir. Lalu, muslim tersebut menerima warisan tersebut. Yahya berkata, "Abu Al¬-Aswad pernah bercerita kepadaku bahwa Muadz pernah bercerita, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda, "Islam itu bertambah, bukan berkurang." [HR. Ahmad (22005). Orang-orang yang menakhrij Musnad berkata, "Sanadnya dhaif karena terputus." Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (2912&2913), dan Al-Hakim (4/345), di dalamnya ada Abul Aswad dari Muadz, AI-Hakim menshahih¬kannya. Adz-Dzahabi menyepakatinya. Di dalam "Al-Fath," ditulis, "Antara Abul Aswad dan Muadz ada keterputusan yang berturut-turut, tetapi mungkin dia mendengarnya," "A/-Faidh" (3/179).] Ini berarti bahwa Islam harus menjadi sebab kebaikan bagi pemeluknya, bukan menjadi sebab bagi kekurangan.


Di sini, bisa juga disebutkan hadits, "Islam itu tinggi, dan tidak bisa rendah." [HR Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ar-Ruyani, dan Adh-Dhiya` dari Aidz bin Amr. Di dalam "Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir hadits ini dihasankan (2778)]



Selain itu, kita pun bisa menikahi wanita-wanita mereka dan mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita kita. Demikian pun dalam warisan. Kita bisa menerima warisan mereka, tetapi mereka tidak.


Meskipun tidak sama dengan jumhur, tetapi saya menguatkan pendapat ini. Saya berpendapat, bahwa Islam tidak menjadi batu penghalang bagi kebaikan dan kemaslahatan seorang muslim yang mengeesakan Allah, taat kepada-Nya, dan menolong agama-Nya dengan kebaikan.


Pada dasarnya, harta harus digunakan untuk taat kepada Allah, bukan maksiat kepada-Nya. Dan, orang yang lebih utama melakukan hal itu adalah umat Islam. Jika hukum positif membolehkan umat Islam untuk menerima harta peninggalan tersebut, kita tidak boleh menolaknya. Sehingga, kita membiarkan harta tersebut untuk orang kafir yang terkadang menggunakannya untuk sesuatu yang haram dan bisa mencelakakan kita.


Adapun hadits "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang muslim," bisa ditakwil dengan takwilan para ahli fikih madzhab Hanafi terhadap hadits "Seorang Muslim tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh orang kafir," yaitu, yang dimaksud "kafir" dalam hadits tersebut adalah kafir harbi. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh menerima warisan dari kafir harbi, yaitu orang yang memerangi umat Islam -karena hal itu memutuskan hubungan antara keduanya.




Pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim


Ibnul Qayyim pernah mendapatkan permasalahan ini - warisan muslim dari kafir - dalam karyanya "Ahkam Ahl Adz-Dzimmah." Dia menjelaskan permasalahan ini dan menguatkan pendapat ini. Dinukil juga dari Syaikhnya, Ibnu Taimiyah, bahwa dia pun berpendapat yang sama.


Dia menulis, "Adapun warisan seorang muslim dari orang kafir, orang-orang dahulu berbeda pendapat. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa seorang muslim tidak boleh menerima warisan orang kafir. Ini adalah pendapat imam empat dan para pengikutnya. Namun, di antara mereka ada yang berkata bahwa seorang muslim bisa menerima waris dari orang kafir, dan tidak sebaliknya. Pendapat ini adalah pendapat Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Al-Hanafiyah, Muhammad bin Ali bin Al-Husain (Abu Ja'far Al-Baqir), Said bin Al-Musayyab, Masruq bin Al-Ajda', Abdullah bin Mughafal, Yahya bin Ya'mar, dan Ishaq bin Rahawaih. Itulah pendapat Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.


Mereka berkata, kita bisa menerima waris dari mereka, tetapi mereka tidak bisa menerima waris dari kita. Sebagaimana kita bisa menikahi perempuan mereka tetapi mereka tidak bisa menikahi istri kita. Alasan yang melarang menerima warisan adalah hadits, "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang muslim," ia adalah dalil bagi tidak bolehnya menerima warisan orang munafik, zindik, dan murtad. Syaikh kita (yakni Ibnu Taimiyah) berkata, "Sesuai dengan sunnah mutawatir, Nabi memperlakukan orang-orang zindik munafik seperti perlakukan kepada umat Islam. Mereka menerima waris dan memberikan warisan. Ketika Abdullah bin Ubay dan orang-orang yang disebut kemunafikannya oleh Al-Qur'an, dan Nabi dilarang untuk shalat serta beristighfar untuk mereka tatkala mereka mati, orang-orang Islam menerima warisan dari mereka.


Sebagaimana anaknya Abdullah bin Ubay pun menerima warisan darinya. Namun, Nabi tidak mengambil sedikit pun harta peninggalan orang munafik dan tidak menjadikannya sebagai rampasan perang (fai), tetapi memberikannya kepada ahli warisnya. Ini adalah hal yang telah diketahui dengan yakin.


Sebagaimana telah diketahui, bahwa waris dibangun atas dasar semangat tolong-menolong yang nyata, bukan karena keimanan hati dan ikatan batin. Secara zhahir, orang-orang munafik adalah menolong umat Islam, meskipun pada hakekatnya mereka adalah musuh yang paling berbahaya. Tetapi, mereka tetap mendapatkan warisan. Dengan demikian, waris dibangun berdasarkan perkara zhahir, bukan hati.


Adapun orang murtad, sebagaimana pendapat para sahabat, seperti Ali dan Ibnu Mas'ud, hartanya adalah bagi ahli waris umat Islam juga. [ Bandingkan dengan "Masa'il Ahmad" nombor 220, Diceritakan dari Abu Dawud, dia berkata, "Saya mendengar Ahmad pernah ditanya tentang warisan orang murtad, dia menjawab, "Saya pernah berkata sekali, orang Islam tidak mewarisinya. “Kemudian berpalinglah darinya!"] Ia tidak masuk ke dalam sabda Nabi, "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir." Inilah yang benar.


Adapun ahli dzimmah, orang yang berpendapat dengan pendapat Muadz, Muawiyah, dan yang lainnya berpendapat, bahwa sabda Nabi "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir," adalah untuk kafir harbi (kafir yang memerangi umat Islam), bukan munafik, orang murtad, dan dzimmi. Lafazh kafir -meskipun kadang bermakna seluruh orang kafir- terkadang bermakna macam-macam kafir. Seperti firman Allah Ta'ala,


"Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Neraka Jahanam." (An-Nisaa': 140)


Dalam ayat tersebut, lafazh munafik tidak masuk ke dalam lafazh orang kafir. Demikian juga dengan orang murtad, para ahli fikih tidak memasukkannya ke dalam lafazh orang kafir. Untuk itu, mereka berkata, "Jika orang kafir masuk Islam, ia tidak berkewajiban mengqadha' shalat-shalat yang ditinggalkan sebelumnya, namun, jika orang murtad masuk lagi kepada Islam, maka mengenai hal ini ada dua pendapat (ada yang mengharuskan mengqadha', dan ada yang tidak)."


Ada beberapa ulama yang berpendapat, bahwa hadits Nabi, "Seorang muslim tidak dibunuh, karena membunuh orang kafir," yang dimaksud adalah kafir harbi bukan dzimmi. Tidak diragukan lagi, mengartikan hadits "Orang muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir," kepada makna kafir harbi adalah lebih utama dan lebih dekat. Karena, umat Islam yang mendapatkan warisan dari mereka bisa mengajak para ahli dzimmah yang lain untuk memeluk agama Islam.


Kebanyakan dari mereka melarang masuk Islam karena takut jika kerabat mereka yang memiliki harta banyak meninggal, mereka tidak akan mendapatkan warisan sedikit pun. Saya pernah mendengar dari mereka mengatakan hal tersebut.


Oleh karena itu, jika diketahui, bahwa Islam tidak menggugurkan warisannya, maka upaya mereka untuk meng-halangi saudaranya dari masuk Islam semakin melemah, dan keinginan mereka sendiri untuk masuk Islam menjadi makin kuat. Hal ini saja sebenamya telah cukup untuk menjadi pengkhusus (at-takhshish) dalam masalah ini. Hal ini mempunyai kemaslahatan yang diakui oleh syariat dalam banyak ajarannya. Kemaslahatan bisa jadi lebih besar daripada kemaslahtan menikahi perempuan mereka. Dan, hal ini tidak menyalahi hal-hal pokok. Ahli dzimmah selalu menolong mereka, orang-orang Islam selalu berperang untuk mereka dan menebus tawanan mereka. Waris ada, karena adanya semangat tolong-menolong. Dengan demikian, umat Islam menerima waris dari mereka. Namun, mereka tidak menolong umat Islam, dengan demikian mereka tidak berhak menerima waris. Dasar waris bukanlah ikatan hati. Jika hati ini dijadikan alasan, orang munafik tidak menerima dan memberikan waris. Padahal, sunnah telah menjelaskan bahwa mereka menerima dan memberi waris.


Bagi orang murtad, orang Islam berhak menerima waris darinya. Adapun bagi dia, jika dia memiliki keluarga muslim yang mati, dan saat itu ia dalam keadaan murtad, maka si murtad tersebut tidak berhak menerima waris. Karena yang demikian itu, berarti dia tidak dalam barisan penolongnya. Tetapi, jika dia kembali lagi memeluk Islam sebelum warisan dibagikan, maka mengenai hal ini, orang-orang berbeda pendapat tentangnya; apakah dia mendapat warisan atau tidak.


Menurut madzhab Ahmad, bagi kafir asli dan orang murtad, apabila ia masuk Islam sebelum warisan dibagikan, maka mereka berhak mendapatkan warisan. Ini adalah pendapat beberapa sahabat dan tabi'in. Serta, hal ini mendukung dasar tadi, yaitu dapat mendorongnya kepada Islam.


Syaikh kita berkata, "Yang mendukung pendapat bahwa seorang muslim menerima waris dari orang kafir dzimmi tetapi tidak sebaliknya adalah, bahwa dasar dari waris yaitu adanya semangat tolong menolong. Sedangkan yang menghalangi dari waris adalah permusuhan. Untuk itu, banyak ahli fikih berpendapat, bahwa kafir dzimmi tidak menerima waris dari kafir harbi. Dalam ayat tentang diyat, Allah Ta'ala telah berfirman, "Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin." (An-Nisaa': 92)


Jika yang terbunuh muslim, diyatnya adalah untuk keluarganya. Jika yang terbunuh orang yang membuat perjanjian damai, diyatnya untuk keluarganya. Jika yang terbunuh adalah musuh umat Islam, dia tidak mendapatkan diyat. Karena, keluarganya adalah musuh umat Islam, bukan orang yang membuat perjanjian damai, dengan demikian, umat Islam tidak akan membayarkan diyat kepadanya. Jika mereka adalah orang yang membuat perjanjian, urnat Islam pasti akan membayarkan diyat kepadanya. Dengan demikian, orang-orang seperti itu tidak akan menerima warisan dari umat Islam, karena di antara mereka tidak ada ikatan iman dan keamanan."


Orang-orang yang berpendapat tidak mendapatkan warisan berkata; Kufur menghalangi waris. Orang yang membebaskan hamba sahaya, jika ia kafir, maka ia tidak akan menerima waris, ia seperti pembunuhan.

Sedangkan orang-orang yang berpendapat menerima waris berkata; Bahwa orang yang membunuh tidak menerima waris (dari orang yang dibunuh) adalah sebagai pelajaran/hukuman karena dia telah melanggar janji.


Nah, inilah bahwa ‘illat dalam warisan adalah pemberian pertolongan. Sedangkan adanya perbedaan agama, tidak memungkinkan untuk menjadi illat dalam masalah ini.


Maka permasalahan ini dapat masuk dalam kategori tiga kebaikan syariat berikut ini, yaitu: Orang (kafir atau murtad) yang masuk Islam sebelum harta warisan dibagikan, maka ia berhak mendapatkan warisan; Orang yang memerdekakan hamba sahaya, ia berhak menerima warisan dari bekas hamba sahayanya tersebut karena alasan perwalian; Dan, orang muslim berhak menerima warisan dari saudaranya yang kafir dzimmi.


Permasalahan di atas termasuk polemik yang terjadi antara para sahabat dan tabi'in. Namun untuk dua masalah yang terakhir, tidak diketahui bahwa para sahabat berpolemik tentangnya. Yang dinukil dari pendapat mereka adalah, mendapatkan warisan.


Syaikh kita berkata, "Masalah warisan dalam kaitannya dengan hal ini adalah sesuai dengan dasar-dasar syariat yang ada. Dimana umat Islam memiliki hak atas ahli dzimmah karena kewajiban-kewajiban yang dilakukan untuk melindungi darah mereka, membela diri mereka, menjaga nyawa dan harta mereka, dan membebaskan tawanan mereka. umat Islam telah memberikan manfaat, menolong, dan memperjuangkan mereka. Dengan demikian, umat Islam lebih berhak mewarisi dari mereka daripada orang kafir.


Sedangkan orang-orang yang berpendapat tidak menerima waris, berkata; Waris itu berdasarkan kesetiaan (wala'). Sedangkan kesetiaan antara muslim dan kafir telah terputus.


Namun, orang-orang menjawab, bahwa waris tidak berdasarkan kesetiaan hati (batin) yang akan mengakibatkan ganjaran di akhirat. Karena, hal tersebut telah jelas antara umat Islam dan musuh mereka yang paling besar, yaitu orang munafik, yang disebut dengan Al-Qur'an, "Mereka itulah musuh - yang sebenarnya - maka waspadalah terhadap mereka." (Al-Munafiqun: 4)


Kesetiaan hati bukan syarat dalam waris, tetapi syarat tersebut adalah pertolongan. Orang Islam menolong ahli dzimmah, dengan demikian menerima waris dari mereka. Sedangkan ahli dzimmah tidak menolong umat Islam, dengan demikian tidak menerima waris dari mereka."[Ibnul Qayyim, :Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, "tahqiq; Shubhi Shalih, hlm. 462-465, cet. Jamiah Dimasyq. Lihat juga halaman 474 dan setelahnya.]


Bisa juga dilihat dari sisi bahwa waris termasuk ke dalam bab wasiat seorang ayah yang meninggal kepada anaknya. Wasiat dari orang kafir kepada muslim, atau dari muslim kepada orang kafir yang bukan harbi adalah jelas-jelas boleh. Mereka berpendapat, bahwa manusia boleh mewasiatkan seluruh hartanya, meskipun kepada anjingnya. Dengan demikian, kepada anaknya adalah lebih utama.


Jika kita mengambil pendapat jumhur yang tidak membolehkan seorang muslim menerima waris dari non-muslim, kita harus berkata kepada muslim yang ditinggal mati oleh ayahnya ini dengan, "Ambillah peninggalan harta ayahmu yang diberikan oleh hukum. Lalu manfaatkanlah olehmu yang sesuai dengan keperluanmu dan keluargamu. Kemudian berikanlah sisanya untuk amal kebaikan yang diperlukan oleh umat Islam - sebagaimana yang ditulis dalam surat. Jangan kamu berikan harta ini kepada negara. Karena, terkadang ia memberikannya kepada projek Kristianisasi dan yang lainnya."


Ini hampir sama dengan fatwa saya tentang harta yang diperoleh dari barang haram, seperti bunga bank dan yang lainnya. Saya telah mengeluarkan fatwa, demikian juga sebagian lembaga-¬lembaga keagamaan; agar umat Islam tidak meninggalkan harta tersebut (bunga bank) di bank yang menggunakan sistem riba, terutama di negeri asing. Harta tersebut harus diambil dan dimanfaatkan. Ia harus diberikan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat Islam (karena harta tersebut kalau tidak diambil, ia justru akan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Dan, ini lebih berbahaya).


***dipetik dari buku "Fiqh Maqasid Syariah," Dr. Yusuf al-Qaradhawi.